CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Selasa, 27 Agustus 2013


Kayaknya ada yang salah dengan perayaan 17 Agustus setiap tahunnya. Bukannya makin meriah seiring bertambahnya usia, malah semakin sepi.

Apa mungkin justru karena semakin bertambahnya usia, semakin tua usia kemerdekaan negara kita, semakin dewasa pula warga negaranya dalam menyikapi arti kemerdekaan? Atau, mungkin kita aja yang gak sadar dengan seiring bertambahnya usia kita sendiri, lama-lama justru kitanya yang malah males? Digantikan dengan keceriaan adik-adik generasi di bawah kita.

Marilah kita sedikit balik ke kilas, alias kilas balik. Kembali ke masa kita masih anak-anak hingga remaja, betapa momen perayaan ulang tahun kemerdekaan menjadi salah satu momen yang paling dinanti-nanti dalam satu tahun selain lebaran.

Ketika masih kecil misalnya, rasanya ngeliat banyak bendera dan umbul-umbul yang terpasang di sepanjang jalan aja udah seneng, belum lagi kalo udah ngeliat deretan hadiah yang dipajang pas ketika perlombaan berlangsung.

Bandingin coba ketika kita udah gede. Kalo dulu waktu kecil banyak bendera sama umbul-umbul cuma pas bulan Agustus, sekarang tiap minggu di mana-mana juga banyak bendera sama umbul-umbul yang dipasang, tapi umbul-umbul pengajian atau partai. Euforianya beda banget.

Nah, kalo waktu kecil kita antusias dan sangat menanti-nanti momen 17-an buat ikutan lombanya, pas kita beranjak remaja semua antusias itu berubah menjadi antusias menjadi panitianya. Yak betul, ketika kita remaja, momen perayaan ulang tahun kemerdekaan Indonesia seolah-olah jadi momen ‘kenaikan kelas’ di masyarakat. Karena menjadi panitia peringatan kemerdekaan Indonesia adalah sebuah prestige alias kebanggaan tersendiri.

Gak tau deh kalo zaman sekarang, kalo zaman dulu sih belum ada manusia, bumi masih kosong setiap tanggal 17 Agustus tuh kayaknya semua orang keluar rumah dan berkumpul bersama di lokasi perlombaan. Mulai dari yang tua sampe yang udah gak ada pun hampir semuanya keluar dan berbaur bersama merasakan arti sebenarnya hidup bermasyarakat.

Mungkin juga sepinya perayaan 17-an sekarang tuh karena udah jarang lagi lahan terbuka buat berkumpul dan melangsungkan lomba, apalagi buat ngediriin panggung malam puncak. Nggak usah tempat lapang buat lomba dan kompetisi bola, buat nancepin pohon pinang aja udah susah.

Khusus buat panggung malam puncak perayaan, ini sebenarnya yang paling ditunggu juga. Soalnya kita bisa unjuk bakat kita di hadapan warga sekitar, mulai dari bocah kecil yang nyanyi nari dengan muka penuh bedak cemong. Sampe remaja-remaja tanggung yang bikin operet.

Kurangnya lahan kosong sebenarnya nggak pas dijadiin alasan, soalnya kan bisa aja nutup jalan sekitar buat ngelangsungin lomba, toh warga lain yang mau lewat pasti maklumin karena emang udah lumrah lah ada jalanan yang ditutup buat lomba 17-an.

Yang pasti, mau ikut ngerayain atau nggak, jangan sampai lah yang namanya nasionalisme kita cuma sebatas bulan Agustus aja. Menunjukkan rasa cinta terhadap Indonesia gak harus dengan ikut masang bendera merah putih pas momen 17 Agustusan doang, masih banyak cara lainnya kok.

Atau mungkin juga sepinya peringatan dan perayaan 17 Agustus yang sekarang ini sedang kami alamin cuma terjadi di sini, di Jakarta, kota di mana segala sesuatunya dikuasai keegoisan.

Mungkin aja di tempat kamu tinggal, peringatan dan perayaan 17 Agustus-nya masih meriah, atau malah mungkin lebih meriah. Atau sama gak meriahnya?

Nah, kalo betul begitu, mari kita tukar cerita bareng-bareng di bawah. Gimana pendapat kamu, keresahan kamu, dan kenangan kamu terhadap momen peringatan dan perayaan 17 Agustus. Biar yang lain tahu bahwa semangat kemerdekaan boleh aja keliatan sepi di permukaan, tapi di lubuk yang terdalam sebenarnya masih ramai.

MERDEKA!

0 komentar:

Posting Komentar