Pulau Kemaro terletak di daerah Sumatera Selatan, tepatnya di tengah sungai Musi yang membelah kota Palembang. Kemaro sendiri merupakan bahasa Palembang, yang berarti kemarau. Menurut masyarakat Palembang, dinamakan pulau Kemaro karena pulau ini tidak pernah digenangi air. Walaupun volume air di sungai Musi meningkat, Pulau Kemaro tetap saja kering. Karena keunikan inilah, masyarakat sekitarnya menjulukinya sebagai Pulau Kemaro.
Pulau Kemaro terletak di sebuah delta yang berada di tengah-tengah sungai Musi, sekitar 5 km arah hulu. Di dalam pulau ini terdapat sebuah makam yang diyakini sebagai makan dari Putri Sriwijaya Siti Fatimah yang menceburkan diri ke Sungai Musi.
Pulau Kemaro terletak di sebuah delta yang berada di tengah-tengah sungai Musi, sekitar 5 km arah hulu. Di dalam pulau ini terdapat sebuah makam yang diyakini sebagai makan dari Putri Sriwijaya Siti Fatimah yang menceburkan diri ke Sungai Musi.
Sejarah / Mitos / Legenda
Menurut legenda (sebagian meyakini sebagai sejarah) masyarakat setempat konon delta ini timbul sebagai bukti cinta Putri Siti Fatimah (salah satu putri Raja Sri Vijaya) kepada calon suaminya. Ceritanya sendiri agak mirip dengan cerita Romeo & Juliet atau Sampek Eng Tay.
Konon pada akhir kerajaan Sri Vijaya (sekitar akhir abad 14) ada seorang pangeran dari Negeri Cina (lupa namanya) datang untuk belajar ke Sri Vijaya yang saat itu memang terkenal sebagai kota pendidikan. Selama berada di Sri Vijaya pangeran itu berkenalan dan jatuh hati kepada Siti Fatimah yang putri Raja Sri Vijaya. Untuk mengikat hubungan cinta mereka sang pangeran pun meminang sang putri. Gayung pun bersambut, pinangan sang pangeran diterima oleh sang putri dan keluarganya.
Untuk melengkapi pinangannya sang pangeran pun mengutus perwira pengawalnya (namanya lupa) pulang ke Cina untuk meminta cindera mata kepada bapaknya (namanya lupa). Selang berapa lama sang perwira pengawalnya datang kembali ke Sri Vijaya dengan membawa cindera mata dalam kapal beserta hulubalangnya. Tanpa sepengetahuan sang perwira pengawal dan hulubalangnya, rupanya ketika di Cina, orang tua sang pangeran menyamarkan guci, keramik dan uang cina (emas atau perak yang berbentuk perahu, kalo ga salah namanya Tael, cmiiw) dibawah tumpukan sayur dan buah-buahan. Maksudnya untuk kejutan kepada calon mantu ketika menerima buah pinangan sang pangeran.
Ketika kapal akan sandar sang pangeran memeriksa kapal untuk meyakinkan isinya sesuai yang dia harapkan. Tapi ternyata yang keliatan oleh hanya sayuran, buah-buahan dan hasil pertanian lainnya. Sang Pangeran pun panik, karena dia berharap orang tuanya mengirimi dia tael untuk menyenangkan sang putri. Setelah dia mengobrak-abrik kapal sampai putus asa dengan harapan menemukan tael diatara hasil bumi, akhirnya dia marah besar karena malu, dia melempar semua muatan kapal ke Sungai Musi dan menenggelamkan beberapa kapalnya. Ketika sebagian besar hasil bumi sudah dibuang ke sungai baru tampak oleh sang pangeran ada tael diantara hasil bumi tersebut.
Merasa menyesal sudah membuang semua sang pangeran menyuruh seluruh hulu balangnya untuk mengambil sayuran yang sudah terlanjur dibuang ke Sungai Musi. Karena arus bawah Sungai Musi yang deras sebagian besar hulu balangnya mati tenggelam dan hanyut terbawa arus. Sang Pangeran pun kemudian menyuruh perwira pengawalnya untuk menyusul mengambil kembali tael yang sudah terlanjur dibuang ke sungai, dan seperti hulubalang lainnya, sang perwira pengawal pun tidak pernah timbul lagi ke permukaan Sungai Musi.
Merasa penasaran dan tambah panik akhirnya Sang Pangeran ikut nyebur untuk mengambil sendiri buah pinangan dari dasar Sungai Musi. Tapi seperti halnya hulubalang dan perwira pengawalnya, sang pangeran pun tidak pernah timbul lagi ke permukaan sungai. Melihat kejadian itu sang putri ikut panik karena calon suaminya tidak timbul lagi ke permukaan sungai, dia pun ikut nyebut untuk menolong calon suaminya. Tapi sang putri pun tidak pernah timbul lagi ke permukaan sungai. Tidak lama berselang dari tenggelamnya sang putri dari dasar sungai timbul gundukan tanah ke permukaan sungai yang akhirnya menjadi cikal bakal delta Pulau Kemarau ini. Atas kejadian itu masyarakat pun meyakini kalau gundukan tanah itu merupakan nisan sepasang kekasih itu. Lama kelamaan, seiring berjalannya waktu gundukan tanah itu makin membesar dan jadilah delta seperti sekarang ini. Nama “Pulau Kemarau” ini sendiri diberikan oleh masyarakat setempat karena pulau ini selalu kering dan tidak pernah hilang tenggelam, bahkan ketika air Sungai Musi pasang besar sekalipun.
Kesininya, tempat itu menjadi spesial bagi masyarakat Tionghoa karena cerita yang melatarbelakangi pembentukan delta itu sendiri. Makanya ketika hari raya Imlek banyak wakrga Tionghoa yang datang kesini untuk sembahyang atau mengenang kejadian tersebut atau sekedar berwisata.
Pembangunan Pagoda
Karena banyak masyarakt Tionghoa yang datang untuk sembahyang kesini, bahkan dari luar Palembang, maka melalui yayasan (lupa namanya) dibangunlah pagoda ini melalui konsorsium. Kemaren ga sempet nanya kapan pagoda ini akan selesai pembangunannya dan mulai digunakan sebagai tempat peribadatan.
.
0 komentar:
Posting Komentar